KEYAKINAN
AKAN SEBUAH PENGABDIAN
“Jika
Aku mati hari ini, siapa dan berapa jumlah orang shaleh yang akan menyolati
jenazahku?”
Kicau burung
bercerita. Semut-semut merah berkeriap membincang semua yang terasa hilang.
Dedaunan berguguran silih berganti. Gemercik air seolah sedang melantunkan nada
duka. Semua terasa lesap. Tak ada harap.
**
Ustad Utsman
duduk termenung, memikirkan nasib para asatidz. Perlahan, air matanya luruh dan
menetes di atas kertas bertuliskan “Rotibah Asatidzah”. Ia pejamkan mata
sejenak, membayangkan wajah-wajah para asatidz yang masih saja mau mendidik
para santri walau hanya diberi upah Rp.100.000/bulan.
“Ustad, saya
ikhlas. Bagi saya, diberi kesempatan mendidik di madrasah ini saja sudah lebih
dari cukup. Karena itu artinya saya diberi kesempatan untuk berinvestasi
banyak”
“Ustad, jangan
dipikirkan, InsyaAllah saya masih berkecukupan. Allah yang akan mencukupinya”
“Alhamdulillah
saya ikhlas ustad. Saya belajar dari ustad tentang dalamnya arti ikhlas. Semua
bermuara pada keridloan Allah, bukankah itu yang selama ini ustad contohkan
kepada para asatid?”
Ketulusan para
pengajar menambah keyakinannya akan sebuah pengabdian. Ia semakin yakin, bahwa
pengabdian itu ada. Ia bangga namun juga merasa bersalah karena belum bisa
berbuat banyak untuk kesejahteraan para pengajar. Karena ia tahu, ikhlas itu
tidak diukur seberapa banyak seorang guru menerima rupiah. Tapi apapun itu,
hanya doa yang saat ini bisa ia mohonkan padaNya. Ya, ia tak pernah berhenti
berharap akan kebaikan madrasahnya.
**
Gerobak kecil
itu berputar mengikuti jalan yang diarahkan sang empunya. Beberapa kampung
sudah dilalui, dan kini gerobak telah penuh dengan tumpukan plastik minuman dan
beberapa dus yang telah dilipat rapi.
Sesampainya di
gudang, sang empunya menurunkan satu persatu bawaannya. Tak lama kemudian Ia
keluar dari gudang dengan menggenggam beberapa rupiah.
“Alhamdulillah..”
Gumamnya.
**
Bangunan dua
lantai itu sudah seperti rumah baginya. Terang saja, dari siang hingga petang
Ia habiskan waktunya di sana. Baginya, dunia hanyalah persinggahan sementara
yang memiliki batas waktu yang singkat. Maka detik-detik yang berlalu haruslah
digunakan untuk terus mengumpulkan apa yang sudah semestinya dibawa ketika
pulang.
“Nabi Muhammad
sangat menyayangi orang-orang miskin, sekalipun mereka adalah orang-orang yang
membenci dirinya. Seperti ketika Nabi rutin memberikan makanan pada seorang
pengemis Yahudi yang buta. Nabi terus memberi, walau setiap hari si pengemis
mencaci maki dirinya.”
“Kenapa pengemis
itu jahat sama Nabi, kan Nabi udah baik sama bapak pengemis itu” Sahut Alifah.
“Pengemis itu
buta. Jadi Ia tidak tahu kalo yang memberi makan adalah orang yang Ia caci
maki”
“Ih gak tau
terima kasih yah ustad” Sahut Alifah lagi.
“Tapi pada
akhirnya si pengemis tahu bahwa orang yang suka ngasih makannya adalah Nabi
Muhammad”
“Nabi bilang
sama pengemis itu?” Tanya Ari.
“Tidak, pengemis
tahu tentang identitas Nabi justru setelah Nabi wafat. Ketika itu si Pengemis
merasa kehilangan pada orang yang selalu memberinya makan. Dan Abu Bakar-lah
yang memberitahukannya. Seketika tahu bahwa orang yang selama ini dicaci maki
adalah Nabi; orang yang dermawan padanya, si pengemis menangis.”
Para santri
selalu antusias jika pelajaran tarikh tiba. Terlebih, yang mengajarnya adalah
sang Mudir. Ustad Utsman selalu punya cara agar anak-anak tidak jenuh menerima
pelajaran. Sehingga dalam materi Tarikh hari ini, Ia ajak anak-anak pergi
menuju pasar minggu yang tidak jauh dari madrasah. Di tempat itu Ustad bersama
para santri menemui pengemis dan memberinya uang juga beberapa makanan yang
dikumpulkan para santri.
Pagi ini ustad
mengajak para santri berolahraga dan mengelilingi pasar minggu. Ia jadikan
apapun yang ditemui dan dilihat santri sebagai bahan ajar. Dan menjadikan
lingkungan pasar sebagai ruang belajar.
“Ustad, Kalo
Lulu udah dewasa, Lulu ingin kaya raya biar bisa baik sama orang-orang yang
lagi pada mulungin sampah itu,” papar seorang santri sembari menunjuk ke arah
dua orang pemulung.
“Iya kasian yah”
Ujar seorang santri lainnya.
“Iya kita harus
sayang sama mereka. Kata Rasul juga kan kita harus baik sama orang miskin” Lulu
kembali angkat bicara.
Kepolosan
anak-anak membuat ustad tertegun. Ia teringat akan satu hal yang belum
diketahui para santri.
“Nah, pulang
dari sini, siapa yang mau ikut main bola? Cung!”
“Saya!!!!!!”
Semua santriwan kompak menyambut tawaran ustad.
“Kalo yang
perempuannya gimana ustad?” Tanya Lulu tak bersemangat.
“Yang perempuannya
main bulu tangkis sama Bu Aisyah”
“Horee!!!”
**
Panas terik dan
terpaan hujan bagai sosok antagonis yang mengusik. Namun peluh dan cucuran
keringat tak membuatnya mengeluh. Tetap dengan senyum yang sama. Senyum yang
selalu ia bagikan pada keluarga yang menantikan kepulangannya.
“Alhamdulillah,
hari ini bapak mendapatkan tiga puluh ribu. Mudah-mudahan cukup buat makan hari
ini”
“InsyaAllah pak”
Senyum istrinya merekah, menandakan rasa syukur yang tak terukur.
**
Santri kelas
enam berkumpul di kelas atas. Mereka hanya berjumlah Sembilan orang. Tiga
santriwan dan enam santriwati. Seperti biasa, ustad sering mengumpulkan santri
kelas enam untuk berdiskusi tentang masa depan dan banyak hal tentang
kehidupan. Itu dilakukan sebagai penambah bekal sebelum mereka keluar
meninggalkan madrasah.
“Ustad, kalo
kita meninggal pas lagi belajar, itu termasuk mati syahid ya ustad?” Tanya
Ilham.
“InsyaAllah,
jika niatnya ikhlas untuk menuntut ilmu, kita akan dikategorikan mati syahid”
Jawab ustad lembut.
“Berarti kita
harus sekolah terus ya ustad, biar nanti pas malaikat jemput, kita lagi pada
sekolah” Kata Arya.
“Hehe.. jadi
kamu mau sekolah sampai tua Ya?”
Hahaha.. Tawa
Fahri menular cepat ke seluruh santri.
“Menuntut ilmu
itu nggak Cuma di sekolah. Jadi dimana pun juga kita harus belajar” Tambah
Alifah sembari membenarkan kaca matanya.
“Alifah betul.
Jadi, walaupun kalian nanti sudah keluar dari madrasah ini, ustad harap agar
kalian tetap mau belajar mengenal agama Allah. Dimana pun, dan kapan pun itu,
kita harus tetap belajar”
“Maaf Ustad, aku
boleh nanya gak?” Alifah memotong.
“Kita kan sering
gak nurut sama ustad. Jadi seandainya kita meninggal pada hari ini, ustad mau
gak maafin dulu kita?”
Ustad tertegun.
Ia tak menyangka santrinya akan mengatakan hal itu.
“Ustad pasti
memaafkan. Ustad mencintai semua santri, dan ustad selalu mendoakan kesuksesan
bagi kalian. Jika Allah menakdirkan kita berpisah karena sebuah kematian, Ustad
ingin kelak kita akan ketemu lagi di surga.”
Ustad tersenyum,
namun air matanya terjatuh.
Suasana berubah
seketika. Semua tertunduk, tiba-tiba kepedihan terasa teramat dalam. Mereka
akan berpisah beberapa minggu lagi. Tapi sesungguhnya bukan itu yang membuat
mereka bersedih. Melainkan ucapan Alifah dan sang Ustad lah yang membuat mereka
tak sanggup lagi menyembunyikan rasa.
**
Masih dengan
gerobak yang sama, ia kembali berkeliling mengumpulkan plastik dan dus bekas.
Dan setelah terisi penuh, ia segera memarkirkan gerobaknya di gudang
pengumpulan barang bekas.
“Alhamdulillah”
Kembali Ia panjatkan rasa syukur setelah menerima uang.
Sebelum pulang,
Ia simpan gerobaknya di tempat biasa. Di penjuru gudang.
“Sebentar pak,
sebelum pulang, bisa tolong ambilkan beberapa dus dan besi di atas sana?”
“Oh iya boleh
pak, mangga”
Ia pun segera
menaiki tangga, tingkatan demi tingkatan. Tapi saat hendak menggapai barang,
beberapa paku dan baud terjatuh dan menimpa mukanya.
“Astaghfirullah”
Ia terkaget.
“Ada apa pak? Di
atas aman kan?” Tanya Karto dari bawah.
“InsyaAllah aman
pak”
Tapi tiba-tiba
besi sepanjang dua meter dengan bobot 15 Kilogram terjatuh.
“Allahu Akbar!”
Besi itu
membentur kepalanya dengan hebat.
**
“Bismillah…
Mohon doanya, Ustad Utsman kecelakaan. Sekarang beliau sedang dilarikan ke
rumah sakit Muhammadiyah” Sms Ustad Faizal disebarkan ke seluruh guru dan
kerabat.
Beberapa santri
dan para asatid dikumpulkan ustad Faizal. Mereka semua diajak menuju rumah
sakit.
Di perjalanan,
para santri tak kuasa menahan tangis.
“Bu, sebentar
lagi kita kan mau ujian, ustad Utsman pasti sembuh kan?” Kata Alifah sembari
sesenggukan.
“Iya insyaAllah,
kita terus doakan ustad ya” Jawab Bu Aisyah yang juga tak kuasa menahan tangis.
Setibanya di
rumah sakit.
Di koridor,
tampak Ustad Ahmad tertunduk lesu.
“Bagaimana
keadaan Ustad Utsman?” Tanya ustad Faizal.
Ustad Ahmad
hanya terdiam.
“Ustad,
bagaimana keadaan Ustad Utsman” Ustad Faizal mengulangi pertanyaannya sembari
menggoyang-goyang bahu ustad Ahmad.
Tanpa mengatakan
apapun, ustad Ahmad merobohkan dirinya pada tubuh ustad Faizal.
Ia memeluk
rekannya sembari mengatakan “Ustad Utsman telah pulang”
“Kepala Ustad
Utsman mengalami pendarahan hebat. Sehingga dokter pun sudah tidak bisa berbuat
apa-apa”
Tangis para
santri semakin menjadi. Alifah dan Bu Aisyah jatuh pingsan. Sedangkan beberapa
asatid lainnya saling memeluk.
“Semalam ustad
memberi pesan ini” Tangis Ustad Faizal semakin tak terbendung saat membaca
kembali pesan dari mudir sekaligus gurunya itu.
Kelak santri-santriku akan tumbuh dewasa. Merekalah yang akan
mengalirkan ilmu yang pernah aku berikan. Dan di saat bersamaan pula, saat aku
telah pulang dan dimintai pertanggungjawaban, aku harap mereka adalah alasan
bagiNya untuk mengampuni dosa-dosaku.
0 komentar:
Posting Komentar